Cari Blog Ini

Kamis, 28 Juni 2012

Pesta Adat ERAU


Selayang pandang Kutai Kartanegara

Ditinjau dari sejarah Indonesia kuno, Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya 7 buah prasasti yang ditulis diatas yupa (tugu batu) yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan hurup Pallawa di Muara Kaman Kutai Kartanegara. Berdasarkan peleografinya, tulisan tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-5 Masehi.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui adanya sebuah kerajaan dibawah kepemimpinan sang raja Mulawarman, putera dari Raja Aswawarman, dan cucu dari Maharaja Kudungga. Kerajaan yang diperintah oleh Mulawarman ini bernama Kerajaan Kutai Martadipura, dan berlokasi di seberang kota Muara Kaman.
Pada abad ke-17 agama islam diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya banyak nama-nama islam yang digunakan pada nama-nama raja dan keluarga islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778). Tahun 1732, ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara pindah dari Kutai Lama Ke Pemarang.
Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarang dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Mohammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara.
Aji Imbut gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan aji kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berati Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih popular dengan sebutan Tenggarong dan tetap hingga kini.
Pada tahun 1838, kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.
Pada tahun 1959 berdasarkan UU No.27 Tahun 1959 tentang “Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan”,  wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 daerah tingkat II, yakni :
1.      Daerah tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong
2.      Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
3.      Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda
Pada tahun 1999, wilayah Kabupaten Kutai dimekarkan menjadi empat daerah Otonom berdasarkan UU No.47 tahun 1999, yakni :
1.      Kabupaten Kutai dengan ibukota Tenggarong
2.      Kabupaten Kutai Barat dengan ibukota Sendawar
3.      Kabupaten Kutai Timur dengan ibukota Sengatta
4.      Kota Bontang dengan ibukota Bontang
Pada tanggal 23 Maret 2002, Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri menetapkan penggunaan nama Kabupaten Kutai Kartanegara melalui peraturan pemerintah RI No.8 tahun 2002 tentang “Perubahan Nama Kabupaten Kutai Kartanegara”.



Sejarah ERAU



Tenggarong adalah ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia. 

Pada mulanya, kota Tenggarong merupakan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara bernama Tepian Pandan. Namun, oleh Sultan Kutai, Aji Muhammad Muslihuddin (Aji Imbut), nama Tepian Pandandiubah menjadi Tangga Arung yang berarti rumah raja. 


Kemudian dalam perkembangannya, Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong sampai saat ini. Di daerah ini telah berkembang sebuah cerita legenda yang sangat populer yaitu Asal-Mula Erau. 


Cerita legenda ini mengambil latar belakang cerita di masa Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura (abad ke-13 M.) yang berdiri di Tepian Batu atau Kutai Lama. Cerita legenda ini terpusat pada kisah seorang laki-laki bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti, seorang dari keturunan Dewa yang memiliki wajah sangat tampan, sehat dan cerdas. Ia tumbuh dan berkembang di lingkungan suku-bangsa Tenggarong Kutai. Sebagai keturunan Dewa, ia tidak boleh diperlakukan seperti halnya seorang anak manusia biasa. Oleh karena itu, sejak kecil ia dirawat dan dibesarkan dengan baik dan hati-hati oleh keluarga Petinggi Dusun Jaitan Layar. Pada waktu-waktu tertentu, keluarga Petinggi Dusun Jaitan Layar harus mengadakan upacara adat untuk Aji Batara Dewa Sakti yang dikenal dengan Erau

Alkisah, di lereng sebuah gunung di daerah Kalimantan Timur terdapat sebuah dusun bernama Jaitan Layar. Di dusun itu tinggal seorang Petinggi bersama istrinya. Meski sudah menikah puluhan tahun, mereka belum dikaruniai seorang anak pun. Namun demikian, suami-istri itu tak pernah putus asa. Mereka senantiasa pergi bertapa, menjauhi kerabat dan rakyatnya untuk memohon pada Dewata agar diberi keturunan.

Pada suatu malam, ketika mereka sedang tertidur nyenyak, tiba-tiba dikejutkan oleh suara gemuruh di halaman rumahnya. Malam yang semula gelap gulita tiba-tiba berubah menjadi terang benderang, kejadian itu membuat mereka sangat heran. “Pak, coba lihat apa yang terjadi di luar,” kata sang istri.

Dengan memberanikan diri Petinggi Dusun Jaitan Layar keluar dari rumahnya. Ia sangat terkejut melihat sebuah batu raga mas berada di halaman rumahnya. Di dalamnya terbaring seorang bayi laki-laki yang masih merah berselimutkan kain berwarna emas. Tangan kanan bayi itu menggenggam sebutir telur ayam dan tangan kirinya memegang sebilah keris emas.

Petinggi Dusun itu semakin terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya berdiri tujuh dewa. Satu dari tujuh dewa itu berkata, “Berterima kasihlah kamu, karena doamu telah dikabulkan oleh para Dewa.”

Kemudian Dewa itu berpesan kepada Petinggi Jaitan Layar, ”Ketahuilah bayi ini keturunan para Dewa di Kahyangan. Oleh karena itu kamu tidak boleh menyia-nyiakannya. Cara merawatnya berbeda dengan merawat anak manusia. Bayi ini tidak boleh diletakkan sembarangan di atas tikar, akan tetapi selama empat puluh hari empat puluh malam harus dipangku secara bergantian oleh kaum kerabat sang Petinggi. Jika kamu ingin memandikan bayi ini, jangan menggunakan air biasa, tetapi harus dengan air yang diberi bunga-bungaan.”

Dewa itu juga berpesan kepada sang Petinggi, “Jika bayi ini sudah besar tidak boleh menginjak tanah sebelum diadakan Erau. Pada upacara Tijak Tanah (Menginjak Tanah), kaki anak ini harus diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan kepala manusia yang sudah mati. Selain itu, kaki anak ini juga harus diinjakkan pada kepala kerbau yang masih hidup dan kepala kerbau yang sudah mati. Begitu pula jika anakmu hendak mandi di sungai untuk pertama kali, hendaknya kau harus mengadakan Erau Mandi ke Tepian sebagaimana pada upacara Tijak Tanah.”

Bukan main senangnya Petinggi Jaitan Layar mendapatkan anak keturunan para Dewa. “Terima kasih Dewa. Semua perintah Dewa akan hamba laksanakan,” kata sang Petinggi sambil menyembah.

Saat itu pula, tiba-tiba ketujuh Dewa tersebut menghilang dari hadapan sang Petinggi. Bayi itu pun segera dibawa oleh sang Petinggi masuk ke dalam rumah. Lalu, sang Petinggi menceritakan kejadian yang baru saja ia alami kepada istrinya. 

Bukan main senangnya istri sang Petinggi mendengar cerita suaminya, apalagi setelah ia melihat bayi itu. Ia bagaikan bulan purnama, wajahnya tampan tiada banding, tubuhnya sehat dan segar, siapa pun memandangnya akan bangkit kasih sayang terhadapnya.

Beberapa saat kemudian bayi itu tiba-tiba menangis. Sepertinya bayi itu sedang kelaparan. Sang Petinggi pun menjadi bingung, karena payudara istrinya tidak dapat mengeluarkan air susu. Apa lagi yang bisa diharapkan dari seorang perempuan tua seperti istrinya untuk menyusui seorang anak. Akhirnya, sang Petinggi membakar dupa dan setanggi. Lalu, sambil menghambur beras kuning, ia memanjatkan doa kepada para Dewa agar memberikan karunia kepada istrinya berupa air susu yang harum baunya. Tak lama setelah berdoa, terdengarlah suara dari Kahyangan, “Hai Nyai Jaitan Layar, usap-usaplah payudaramu dengan tangan berulang-ulang sampai terpancar air susu darinya”.

Mendengar perintah itu, istri Petinggi Jaitan Layar segera mengusap-usap payudaranya sebelah kanan sebanyak tiga kali. Tiba-tiba, mencuratlah dengan derasnya air susu dari payudaranya yang sangat harum baunya seperti bau ambar dan kasturi. Bayi itupun mulai menyusu pada istri Petinggi. Kedua suami-istri itu sangat bahagia melihat bayi keturunan Dewa itu telah mendapatkan air susu.

Setiap hari, sang Petinggi dan istrinya merawat anak mereka dengan baik. Sesuai perintah Dewa, mereka senantiasa memandikan bayi itu dengan air yang diberi bunga-bungaan. Tiga hari tiga malam kemudian, putuslah tali pusar bayi itu. Seluruh penduduk dusun Jaitan Layar bergembira. Mereka merayakannya dengan menembakkan Meriam Sapu Jagat sebanyak tujuh kali. Empat puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku penduduk secara bergantian dan berhati-hati. Sesuai petunjuk Dewa dalam mimpi Petinggi, bayi laki-laki itu diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti.

Waktu terus berlalu. Kini Aji Batara Agung Dewa Sakti telah berumur lima tahun. Anak seusia Aji tentu sangat ingin bermain di luar rumah bersama teman-teman sebayanya. Ia juga ingin mandi di sungai seperti anak-anak lain. Ia sudah sangat bosan dan jenuh dikurung di dalam rumah.

Sang Petinggi teringat dengan pesan Dewa ketika menerima anak itu. Maka ia dan istrinya bersama seluruh penduduk Dusun Jaitan Layar mempersiapkan Erau. Dalam pesta Erau itu digelar upacaraTijak Tanah dan Mandi ke Tepian. Upacara Erau berlangsung sangat meriah selama empat puluh hari empat puluh malam. Sesuai petunjuk Dewa, Petinggi menyembeli bermacam-macam binatang dan beberapa orang untuk diinjak kepalanya oleh Aji Batara Agung pada upacara Tijak Tanah.

Dalam upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian, Aji Batara Agung diarak dan kemudian kakinya dipijakkan pada kepala-kepala binatang dan manusia yang telah diselimuti kain kuning. 

Kemudian Aji Batara Agung diselimuti dengan kain kuning, lalu diarak ke tepian sungai. 

Di tepi sungai, Aji Batara Agung dimandikan, kakinya dipijakkan pada besi dan batu. Semua penduduk Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria, baik orang tua maupun orang muda. Setelah selesai upacara mandi, maka khalayak mengarak kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, lalu memberinya pakaian kebesaran. Setelah itu mereka mengarak kembali Aji Batara Agung ke halaman dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagat.

Sesaat kemudian, tiba-tiba dentuman suara guntur yang sangat dahsyat menggoncang bumi disertai dengan hujan panas turun merintik. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Cahaya cerah kembali menerangi alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang sedang mengadakan upacara di bumi. Penduduk Jaitan Layar kemudian menghamparkan permadani dan kasur agung, lalu membaringkan Aji Batara Agung di atasnya. Gigi Aji Batara Agung pun diasah kemudian diberi makan sirih.

Selesai upacara tersebut, pesta Erau pun dimulai. Berbagai makanan dan minuman disediakan untuk penduduk. Bermacam-macam permainan dipertunjukkan. Laki-laki dan perempuan menari silih berganti. Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang. Keramaian ini berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya.

Setelah pesta Erau selesai, semua bekas balai-balai yang digunakan dalam pesta ini dibagi-bagikan oleh Petinggi kepada penduduk yang melarat. Demikian pula, semua hiasan-hiasan rumah oleh istri Petinggi diberikan kepada penduduk.

Para undangan dari berbagai negeri dan dusun, berpamitan kepada Petinggi dan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka memuji-muji Aji Batara Agung dengan berkata, "Tiada siapa pun yang dapat menyamainya, baik rupanya yang tampan maupun sikapnya yang berwibawa. Patutlah dia anak dari batara Dewa-Dewa di khayangan." Setelah berpamitan, para undangan kembali ke negeri dan dusunnya masing-masing untuk mencari nafkah sehari-sehari.

Sementara itu, Aji Batara Agung Dewa Sakti makin hari makin dewasa. Ia tumbuh menjadi remaja yang gagah, tampan, cerdas dan berwibawa. Ia kelak akan menjadi Raja pertama dari kerajaan Kutai Kartanegara. Setelah mencapai usia dewasa, tibalah saatnya Aji Batara Agung Dewa Sakti diangkat menjadi raja Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura yang pertama (1300-1325). Saat ia diangkat menjadi raja, Erau kembali diadakan dengan meriah. Sebagai raja pertama, maka Aji Batara Agung Dewa Sakti dianggap sebagai nenek moyang raja-raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura.

Setelah menjadi raja, Aji Batara Agun Dewa Sakti menikah dengan seorang putri yang cantik jelita bernama Putri Karang Melenu. Konon ceritanya, Putri Karang Melenu juga merupakan titisan Dewa dari Kahyangan. Awalnya, ia adalah ulat kecil yang ditemukan oleh seorang Petinggi Hulu Dusun di daerah kampung Melanti dekat Aliran Sungai Mahakam. Pada suatu hari, ketika Petinggi Hulu Dusun sedang membelah kayu bakar, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seekor ulat kecil. Ulat kecil itu melingkar di belahan kayu dan memandangnya dengan mata yang sayu, seakan minta dikasihani. 

Dengan lembut sang Petinggi mengambil ulat itu untuk dipelihara.

Waktu terus berlalu. Ulat kecil itu tumbuh semakin besar. Lama-kelamaan binatang itu berubah menjadi seekor naga yang besar. Meskipun besar dan menyeramkan, naga itu jinak dan tak pernah keluar dari rumah. 

Pada suatu malam Petinggi bermimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita. Dalam mimpinya, sang Putri berkata, “Ayah dan Bunda tidak usah takut kepada ananda, meski tubuh ananda besar dan menakutkan. Izinkanlah ananda untuk pergi dari sini. Buatkanlah ananda sebuah tangga untuk merayap ke bawah”. Ketika terbangun, sang Petinggi menceritakan mimpinya kepada Istrinya, Babu Jaruma.

Keesokan harinya, sang Petinggi pun sibuk membuat tangga dari kayu lampong. 

Anak tangganya terbuat dari bambu yang diikat dengan akar lembiding. Selesai membuat tangga, tiba-tiba Petinggi mendengar suara sang Putri yang menemuinya dalam mimpi. 

“Bila ananda telah turun ke tanah, ananda minta Ayahanda dan Bunda menigkuti ananda ke mana saja ananda merayap. Ananda juga minta agar Ayahanda membakar wijen hitam serta menaburi ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan menyelam, ananda mohon Ayahanda dan Bunda mengiringi buihku.” Sang Naga pun kemudian menuruni tangga, lalu merayap meninggalkan rumah. Sang Petinggi dan istrinya mengikuti naga itu sesuai dengan petunjuk sang Putri.

Ketika sang Naga sampai di sungai, ia berenang tujuh kali berturut-turut ke hulu dan tujuh kali ke hilir. Kemudian dia berenang ke Tepian Batu. Petinggi dan istrinya mengikuti sang Naga dengan perahu. Di Tepian Batu, sang Naga berenang ke kiri tiga kali dan ke kanan tiga kali kemudian menyelam. 

Pada saat menyelam, tiba-tiba terjadilah peristiwa yang sangat dahsyat. Air sungai pun bergolak. Angin topan bertiup dengan kencang. Hujan deras turun disertai guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi Petinggi dan istrinya terombang-ambing oleh gelombang air sungai. Dengan susah payah Petinggi berusaha mengayuh perahunya ke tepi.

Tak lama peristiwa itu berlangsung, tiba-tiba cuaca kembali terang. 

Petinggi dan istrinya heran. Ke mana perginya sang Naga? Tiba-tiba mereka melihat suatu pemandangan yang menakjubkan. Air Sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Warna-warni sinar pelangi menerpa buih hingga bercahaya kemilau. Petinggi dan istrinya mendekat. Mereka terkejut karena ditumpukan buih itu terdapat sebuah gong besar dan di dalamnya ada sebuah benda. Entahlah, benda apa itu? Petinggi dan istrinya semakin penasaran. Petinggi bergegas mengayuh perahunya ke arah benda itu. “Lihat Pak! Sepertinya benda itu seorang bayi,” seru istri Petinggi sambil menunjuk ke arah gong itu. 

Ternyata benar, benda di dalam gong itu adalah seorang bayi perempuan. Kemudian mereka pun mengambil gong berisi bayi itu dan membawanya pulang.

Sang Petinggi dan istrinya merawat bayi itu dengan baik seperti anak kandungnya sendiri. Mereka sangat senang sekali mendapatkan anak dari Kahyangan. Setelah genap tiga hari, putuslah tali pusar bayi itu. Sesuai perintah Dewa di dalam mimpi Petinggi, bayi perempuan itu diberi nama Putri Karang Melenu.

Waktu terus berjalan, Putri Karang Melanu tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita, baik budi, dan pintar. Setelah dewasa, Dewata pun mempertemukannya dengan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Keduanya lalu menikah. Sang Putri pun menjadi permaisuri Raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura I dan melahirkan seorang putra bernama Aji Batara Agung Paduka Nira.

Demikianlah kisah perjalanan hidup Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti dengan permaisurinya Putri Karang Melanu mulai kecil hingga akhirnya mereka menikah. Sejak Aji Batara Agung Dewa Sakti menjadi Raja Kutai Kartanegara, Erau diadakan pada setiap pergantian atau penobatan raja-raja Kutai Kartanegara. Untuk mengenang kembali peristiwa kehadiran Putri Karang Melanu, diadakan pula upacara Mengulur Naga. Upacara ini merupakan puncak acara pada Erau yang hampir setiap tahunnya diselenggarakan oleh masyarakat Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Selain Mengulur Naga, masyarakat Kutai Kartanegara mengenang Putri Karang Melanu dengan membangun sebuah gedung pertunjukkan pada tahun 2003 yang diberi nama Putri Karang Melanu. 

Pada masa kerajaan Kutai Kartanegara, Erau diselenggarakan oleh kerabat istana dengan mengundang pemuka masyarakat yang setia kepada raja. Waktu penyelenggaraan Festival Erautergantung pada kemampuan kerajaan, minimal tujuh hari delapan malam dan maksimal empat puluh hari empat puluh malam. Namun, sejak masa kerajaan Kutai Kartanegara berakhir tahun 1960, pelaksanaan Erau sempat mandek selama beberapa tahun. Baru pada tahun 1971, Erau(yang kemudian populer dengan sebutan Festival Erau) ini kembali dilaksanakan atas prakarsa Bupati Kutai, Achmad Dahlan, dengan merangkaikan perayaan hari jadi Kota Tenggarong. Sejak itulah, Festival Erau menjadi agenda rutin pemerintah Kutai Kartanegara dalam rangka memperingati hari jadi Kota Tenggarong. Oleh karena itu, setiap perayaan hari jadi Kota Tenggarong selalu dirangkaikan dengan Festival Erau dan berbagai festival lainnya. Pada tanggal 28 September 2003, perayaan hari jadi Kota Tenggarong ke-221 dirangkaian dengan penyelenggaraanFestival Erau dan Zapin International Festival.

Dalam Festival Erau, berbagai macam seni dan olahraga tradisional yang mereka tampilkan, di antaranya Menjamu Benua, Merangin Malam, Mendirikan Tiang Ayu, Upacara Penabalan, Pelas(Pagelaran Kesenian Keraton Kutai Kartanegara), Seluak Mudik, Mengulur Naga, dan diakhiri denganBelibur. Selain itu, dalam festival itu juga ditampilkan berbagai kesenian Dayak seperti Papaer Maper, Kuangkay, Mumutn, Ngayau, Lemakan Balei, Uman Undad, Pasek Truit, Erau Anak (Penhos). Tak ketinggalan pula keseniaan daerah pesisir (kesenian Melayu) seperti Tarsul dan Badendang. Untuk lebih meramaikan Festival Erau, biasanya diadakan penyalaan kembang api raksasa di Pulau Kumala pada malam hari. Ratusan ribu orang menyaksikan indahnya warna-warni menghiasi langit dari tepian Sungai Mahakam.

Saat ini, penyelenggaraan Festival Erau oleh masyarakat Tenggarong tidak sekedar untuk melestarikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, akan tetapi juga untuk memperkenalkan potensi wisata Kutai Kartanegara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bupati Kutai Kartanegera, Syaukani, Festival Erau merupakan wujud rasa syukur masyarakat Kutai Kartanegara dan pemerintah daerah dalam melakukan kegiatan pembangunan. Pelaksanaan Erau diharapkan dapat menjadi upaya positif untuk menjual dan memperkenalkan potensi wisata Kutai Kartanegara. Festival Erau selalu dinanti-nanti oleh masyarakat Kutai Kartanegara setiap tahun, karena memang sudah masuk dalam kalender wisata nasional.Festival Erau ini merupakan sebuah peristiwa yang telah menjadi kebanggaan masyarakat Kutai Kartanegara.


Pelaksanaan Erau


Pembukaan Erau
Salah satu spanduk di tribun penonton di Stadion Aji Imbut Tenggarong

Para penari memasuki lapangan untuk memulai menari di acara pembukaan Erau

Para penari membentangkan bendera warna warni lambang bermacam-macam suku di tanah Kutai Kartanegara

Penari dengan menggunakan baju Adat Dayak


Penari dengan menggunakan baju Adat Melayu

Penari Adat Dayak membentuk formasi

Pembawa bendera membentuk formasi

Penari Adat Dayak Belian memasuki lapangan

Formasi Penari Adat Dayak 

Formasi penari Adat Melayu

Penari Melayu nampak kompak sesuai irama lagu

Seluruh penari membentuk formasi dihadapan podium kehormatan

Bendera Merah Putih juga berkibar

Formasi Kesatuan

Penonton yang memadati Stadion Aji Imbut

2 orang yang dibawa lambang Raja dan Ratu yang mengayomi seluruh masyarakat kutai

Formasi Akhir Penari melambangkan kebersamaan suku dihadapan Raja



Acara Tradisional saat ERAU


1. Beseprah (Makan Bersama)
Adalah acara makan (gratis) bersama antara Kesultanan Kutai Kartanegara, Pemerintah Kutai Kartanegara dan seluruh rakyat Kutai Kartanegara di jalan sepanjang 5 km.


Persiapan Beseprah di Depan Meseum Mulawarman

Persiapan di bawah gapura Gerbang Raja

Masyarakat siap menyantap makanan yg di sediakan oleh salah satu dinas pemerintah

Masyaraakat sudah siap di tempat dengan makanan tersaji didepannya

Bupati Kutai Kartanegara

Pejabat Kerajaan dan Pemerintah Kutai Kartanegar

Kebersamaan Pejabat dan Masyarakat dalam hal makan bersama

2. Lomba Ketinting (Perahu Tradisional)


Penonton di Tepian Mahakam

Dermaga Start dan Finish

Warming Up (Pemanasan)

Start 

Salah satu peserta sedang belok

Saling menyusul di belokan

Saling menyusul di Lurusan

Tancap

Sang Juara

Runner Up

3. Lomba Perahu Naga

Salah satu peserta

Saling Kejar



Berdoa

4. Bepelas
Upacara adat yang digelar saat malam hari pada setiap dan selama pelaksanaan Erau. Upacara adat Bepelas bermakna untuk memuja raga dan sukma Sultan dari ujung rambut sampai ujung kaki, sehingga dapat memberikan kekuatan kepada Sultan dalam menjalankan pemerintahan atau adat.

Salah satu Dewa Adat Dayak Belian

Ritual Dewa Adat Belian

Salah satu Dewi Adat Dayak Belian

Dewi-Dewi Dayak Belian Sedang Menari

Dewi Adat Dayak Belian Menari

Penari yang menari sebagai persembahan Untuk Sultan

Pejabat juga mempersembahkan tarian untuk Sultan

Putra Mahkota menginjakkan kaki kirinya diatas gong Raden Galuh untuk dipelas

Para Putri Kerajaan juga ikut mempersembahkan tarian

5. Beluluh
Acara ini merupakan upacara adat keraton Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang di maknai sebagai upacara adat pembersihan diri, diartikan sebagai bayi yang baru lahir bagi yang diluluh diatas balai dan seorang belian berperan mengucapkan memang / mantera memohon kepada yang maha kuasa kiranya kepada yang diluluh mendapat keselamatan, kebijaksanaan dalam melaksanakan tugasya.

Upaca Adat Beluluh ini berasal dari riwayat yang terjadi ditanjung Ruwana Kutai lama pada tahun 1300, dengan munculnya seorang bayi perempuan di permukaan air sungai mahakam, bayi tersebut berada diatas balai bambu kuning yang beralaskan kain kuning, balai ini muncul kepermukaan air sungai mahakam yang dijunjung oleh dua ekor lembu suana, balai dan lembu suana tersebut di junjung oleh dua ekor naga jantan dan betina, bayi yang dimaksud adalah Putri Karang Melenu, yang kelak ketika dewasa menjadi Permaisuri Adji Batara agung Dewa Sakti raja pertama di Kerajaan Kutai Kartanegara.
Upacara adat beluluh ini dimaknai sebagai upacara pembersihan diri seperti seorang bayi yang baru lahir.

Sejak berdirinya kerajaan Kutai Kartanegara, upacara Beluluh ini selalu diadakan baik acara Erau, acara perkawinan maupun penyambutan tamu yang disesuaikan dengan tatanan adat menurut tingkat kerabat tamu dan lain-lainnya.

Upacara Beluluh ini dilakukan kepada kepala kepala penguasa dalam pemerintahan atau kerajaan sebagai pembersihan diri, agar didalam menjalankan roda pemerintahan terlepas dari segala macam mara bahaya dan selalu mendapatkan rahmat dan lindungan dari Yang Maha Kuasa. Adapun kelengkapan Beluluh yang merupakan syarat utama dan mutlak ada, yaitu: balai yang terbuat dari bambu dan dialasi oleh kain kuning, dibawah balai terdapat tambak karang yaitu beras yang telah diberi beraneka macam warna yang ditaburkan dengan bentuk gambar binatang, kemudian disiapkan pula tepung tawar yang terdiri dari beras kuning, mayang, ikatan ketikai lepas yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Setelah prosesi Beluluh dilaksanakan maka para kerabat keraton serta undangan yang hadir juga mendapatkan kesempatan untuk mebersihkan diri dengan mengusapkan air bunga yang telah diberi doa keselamatan ke bagian wajah atau badan lainnya.

Dewa Belian

Sultan sedang Beluluh

Para Dayang

Beluluh Sultan

Sultan membersihkan diri dengan Air Tepong Tawar

Beras berwarna yang dihias menjadi gambar Lembuswana

6. Hiburan Musik

Fade 2 Black

Bondan

Bondan & Fade 2 Black

7. Belimbur

Belimbur suatu acara yang dilakukan pada saat berakhirnya kegiatan Erau, semua masyarakat baik tua maupun muda saling menyiramkan air satu dengan yang lainnya dilakukan dengan riang gembira penuh suka cita tidak ada rasa iri hati, dendam dan saling menyakiti semua dilakukan dengan tulus ikhlas, ini merupakan simbol pemersatu dan melepas segala beban hidup untuk kembali menjadi jiwa yang bersih.

Sebelum Belimbur dimulai replika naga harus di bawa ke Kutai Lama, kecamatan Anggana

Para Belian memimpin mengarung Naga

Siap di siram air

Mempersiapkan air siraman

team work

Menyiram menggunakan mesin

Suasana Belimbur di depan Museum Mulawarman

Belimbur menggunakan mesin